Berita Lifestyle Jepang – Semuanya dimulai pada Periode Heian (794-1185) dalam catatan sejarah Jepang. Seorang wanita dengan kecantikan yang tak tertandingi lahir di prefektur Akita utara, sebuah wilayah yang dikenal dengan musim dingin yang keras, sake yang kuat dan nasi yang lezat.
Ono no Komachi adalah seorang penyair yang dipuji dalam catatan sejarah Jepang, tapi penampilannya yang menjadi sorotan utama dimata masyarakat, dirinya menjadi definisi kecantikan. Kulitnya yang pucat, mata besar, hidung kecil dan rambut hitam dikagumi karena karakteristik pasti wanita di Akita, dan menyebabkan sebuah standar kecantikan yang dikenal sebagai “Akita Bijin” (keindahan Akita) yang sampai saat ini juga sering digunakan oleh masyarakat Jepang, kata-kata tersebut juga sampai saat ini digunakan untuk mempromosikan prefektur tersebut.
Simak Juga : Cara Orang Jepang Menarik Keberuntungan Pada Tahun Baru
Tapi stereotip dan harapan yang dipancarkan dari standar kecantikan ini telah menempatkan beban yang cukup besar pada wanita Akita saat ini. Seorang wanita mengatakan “Saya benar-benar stres setiap kali saya memperkenalkan diri sebagai seseorang dari Akita,” kata Mika Miyazaki, seorang mahasiswa berusia 19 tahun dari Akita. “Saya tahu mereka akan membalas dengan ‘Oh, seorang Akita Bijin!’ Tapi saya tahu mereka berbohong karena saya tidak cantik.”
Sebuah survei yang dilakukan pada musim semi 2017 oleh Klinik Kecantikan Ayabe Fukuoka, sebuah klinik kecantikan utama yang berbasis di Fukuoka, mengungkapkan bahwa 37 persen wanita Akita merasa berada di bawah tekanan untuk memenuhi standar kecantikan yang diharapkan masyarakat dari mereka. Klinik tersebut mensurvei 300 wanita berusia 20-an sampai 40-an di tiga prefektur yaitu Fukuoka, Kyoto dan Akita. Dimana gagasan Akita Bijin sering digunakan diketiga prefektur tersebut.
Tercatat dengan 18 persen wanita di Fukuoka dan 12 persen di Kyoto merespons sebuah standar kecantikan tersebut harus dirubah, tingkat standar kecantikan yang ada dalam gagasan Akita tersebut tentu sangat tinggi dan juga sudah tidak cocok dengan dunia modern saat ini.
Pada saat ini tekanan bisa berjalan begitu tinggi untuk beberapa wanita, yang bahkan ketika berjalan dan memperkenalkan diri saja menjadi sebuah kegelisahan. Hanako Tanikawa, seorang pekerja kantor di Akita yang berusia 20 tahun mengatakan, “Saya mencoba menjauh dari matahari semaksimal mungkin. Dengan begitu, saya bisa menjaga warna kulit terang saya. ”
Bukan hanya wanita muda yang perlu merasa “memperindah” diri mereka sendiri. Generasi yang lebih tua juga merasa dibatasi oleh cita rasa keindahan Akita. “Ada begitu banyak salon kecantikan. Bahkan seorang wanita lansia peduli dengan penampilan mereka, “kata Tanikawa. “Bahkan salon paling umum pun ramai dikunjungi oleh klien lansia.”
The Prefectures Grading Research melaporkan bahwa prefektur Akita, yang berpenduduk sekitar 1 juta – kira-kira sama dengan kota San Jose di California, memiliki sekitar 28 panti kecantikan dengan masing-masing pengunjung mencapai 10.000 orang, catatan yang tertinggi dari semua 47 prefektur di Jepang. Membuat wilayah Akita menjadi wilayah yang sangat membutuhkan sebuah perawatan kecantikan. Menurut survei Klinik Kecantikan Ayabe, wanita di Prefektur Akita ditemukan menghabiskan rata-rata Â¥50.000 setiap tahun untuk perawatan kecantikan dan kosmetik. Meskipun ini mungkin tidak tampak sangat tinggi dibandingkan dengan Â¥71.000 yang dikeluarkan oleh wanita di Fukuoka, namun jika mengingat bahwa gaji tahunan rata-rata untuk pekerja Akita adalah 3,6 juta yen, sekitar tiga perempat juta kurang dari gaji pekerja di Fukuoka.
Meskipun standar kecantikan ini memang cukup sulit untuk dihilangkan karena telah menjadi sebuah tradisi bersejarah bagi Akita, semoga para masyarakat Jepang terutama para laki-laki mengetahui bila standar kencatikan tersebut hanya sebagai tradisi semata bukan untuk sebuah kewajiban bagi wanita sehingga tidak akan menimbulkan sebuah tuntutan besar kepada setiap wanita yang berasal dari Akita.
Source : Japan Times
0 Comments